Laman

Jamaah Majelis Talim Al-Mudzakarah

Jamaah Majelis Talim Al-Mudzakarah berfoto bersama Guru sekaligus pembimbing majelis yaitu Al-Ustadz Jaelani, S.Ag. Beliau merupakan pendiri Majelis Talim Al-Mudzakarah.

Kegiatan Ziarah Majelis Talim Al-Mudzakarah

Peserta ziarah yang diselenggarakan oleh Majelis Talim Al-Mudzakarah berfoto Bersama Al-Ustadz Drs. H. Abdul Hadi, M.Ag. Kegiatan ziarah ini dilakukan dalam rangka mengingat sejarah Islam

Kegiatan Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW

Majelis Talim Al-Mudzakarah memiliki kegiatan rutin tahunan, yaitu kegiatan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Pada tahun 2016 Majelis Talim Al-Mudzakarah mengundang penceramah kondang yaitu K.H. Ahmad Rifki Umar Barayis, S.Pd.I

Kegiatan Rutin Pengajian Malam Jumat

Majelis Talim Al-Mudzakarah memiliki kegiatan pengajian rutin setiap malam jumat yang diselenggarakan dari rumah ke rumah para jamaah Majelis Talim Al-Mudzakarah.

Guru dan Pembimbing Majelis Talim Al-Mudzakarah

Al-Ustadz Jaelani, S.Ag., H.J adalah guru sekaligus pembimbing bagi jamaah Majelis Talim Al-Mudzakarah. Alasan beliau mendirikan majelis ini adalah untuk mensyiarkan agama Allah SWT

Jumat, 29 September 2017

Mengenai Sultan Maulana Hasanudin Banten

Sultan Maulana Hasanudin Banten

Dengan kesempatan baik ini saya ingin memberikan sedikit sejarah tentang kerajaan Banten Yakni Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Hal ini membuat saya merasa perlu untuk memposting sejarah beliau, lantaran pengalaman saat melakukan ziarah ke makam beliau.

Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah berpengaruh dalam penyebaran Islam di Banten, karna beliau adalah seorang Sultan yg pertama kali menjadi penguasa di kerajaan Islam di Banten, beliau mendirikan Kseultanan Banten, bahkan beliau mendapatkan gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin, gelar tersebut di persembahkan dari kakeknya yaitu Prabu Surasowan pada masa itu Prabu Surasowan menjabat menjadi Bupati di Banten

Sultan Maulana Hasanuddin adalah putera dari Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) dan Nyi Kawunganten (Putri Prabu Surasowan), beliau adalah seorang sultan yg mengerti akan ekonomi dan politik.

Prabu Surasowan wafat, namun kini pemerintahan banten di wariskan kepada anaknya, yakni Arya Surajaya (Prabu Pucuk Umun), di mana pada masa itu Arya Surajaya menganut Agama Hindu, pada pemerintahan Arya Surajaya, Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon atas panggilan dari kepengurusan Bupati di Cirebon, karna Pangeran Cakrabuana wafat, Lalu Syarif Hidayatullah di angkat menjadi Bupati di Cirebon sekaligus menjadi Susuhanan Jati. Sedangkan puteranya, Hasanuddin memilih menjadi Guru Agama Islam di Banten, bahkan beliau di kenal memiliki banyak Santri di wilayah Banten, lalu beliau mendapatkan gelar Syaikh menjadi Syaikh Hasanuddin.

Meskipun beliau menetap di Banten, namun beliau tetap menjenguk sang Ayah di Cirebon untuk bersilahturahmi, setelah sering bersilahturahmi, beliau mendapatkan tugas dari Ayahnya untuk meneruskan Tugas Sang Ayah yakni menyebarkan Agama Islam di Banten.

“Putraku, Hasanuddin! Kini Engkau sudah dewasa. Pengetahuan agamamu pun sudah cukup mumpuni. Saatnya pengetahuan itu kau sebarkan kepada seluruh rakyat Banten,” ujar Syekh Syarif Hidayatullah.

“Baik, Ayah,” jawab Pangeran Hasanuddin seraya berpamitan kembali ke Banten.

Setiba di Banten, Syaikh Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah ayahnya. Bersama para santrinya, beliau berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya, mulai dari Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.

Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umun, hubungan antara Prabu Pucuk Umun dan Sultan Maulana Hasanuddin sangatlah buruk yang tidak di pahami oleh Masyarakat, Prabu Pucuk Umun tetap bersih Kukuh untuk mempertahankan Ajaran Sunda Wiwitan (agama Hindu sebagai agama resmi di Pajajaran) di Banten, namun tidak sedemikian dengan Syaikh Maulan Hasanuddin, beliau terus melanjutkan Dakwahnya dengan Lancar.

Namun pada masa itu Prabu Pucuk Umun menantang Syaikh Maulana Hasanuddin untuk berperang, namun bukan berperang untuk duel, namun beradu Ayam, karna jika berperang secara duel akan menimbulkan korban yg banyak, itulah alasan Prabu Pucuk Umun mengapa berperang beradu ayam karna tidak ingin menimbulkan banyak korban.

“Wahai, Mualana Hasanuddin. Jika kamu ingin menyebarkan Islam di daerah Banten, kalahkan dulu ayam jagoku! Jika kamu berhasil memenangkan pertarungan ini, jabatanku sebagai Bupati Banten Girang akan kuserahkan kepadamu. Tapi ingat, jika kamu yang kalah, maka kamu harus menghentikan dakwahmu itu,” kata Prabu Pucuk Umum.

“Baiklah, kalau itu yang Prabu inginkan. Hamba menerima tantangan itu,” jawab Maulana Hasanuddin.

Prabu Pucuk Umun memilih tempat adu kesaktian Ayam di Lereng Gunung Karang, karna di anggap sebagai tempat yang netral, pada waktu yang di tentukan Kedua Pihak pun beramai-ramai mendatangi lokasi, Prabu Pucuk Umun dan Syaikh Maulana Hasanuddin tidak hanya membawa Ayam Jago saja melainkan membawa Pasukan untuk meramaikan dan menyaksikan pertarungan tersebut, bahkan pasukan satu sama lain membawa senjata, karna untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Prabu Pucuk Umun membawa Golok yang terselip di pinggangnya dan Tombak yang di genggamnya, namun Syaikh Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah Keris Pusaka milik Ayahnya yakni Sunan Gunung Djati yang di warisi kepada Syaikh Maulana Hasanuddin.

Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umun mengambil tempat di tepi utara arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu, Syaikh Maulana Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah dan sorban putih di kepala.

Sebelum pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke tengah arena. Kedua ayam jago tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu. Ayam jago milik Prabu Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Ayam itu telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu dimandikan, dibacakan pula ayat-ayat suci Alquran.

Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh. Ia adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.

Akhirnya pertarungan tersebut di mulai, dari kedua belah pihak saling memberikan semangat kepada jagoannya masig-masing.

Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umun jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana Hasanuddin. Para pendukung Pucuk Umun pun menjadi bungkam, sedangkan pendukung Syaikh Maulana Hasanuddin melompat kegirangan sambil meneriakkan:

“Allahu Akbar! Hidup Syaikh Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”

Akhirnya, Syaikh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu. Prabu Pucuk Umun pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya sebagai tanda pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.

“Selamat, Maulana Hasanuddin! Sesuai dengan kesepakatan kita, maka kini engkau bebas melakukan dakwah Islam sekaligus menjadi penguasa di Banten Girang,” ujar Prabu Pucuk Umun.

Setelah itu, Prabu Pucuk Umun berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk Umun, para pengikutnya diharapkan untuk menjaga dan mengelola kawasan yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy.

Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk Umun yang terdiri dari pendeta dan punggawa Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syaikh Maulana Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syaikh Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa.

Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama.

Pada tahun 1526 M Banten Pasisir berhasil direbut oleh Panglima Fadillah Khan dan pasukannya, Hasanudin diangkat menjadi Bupati Banten Pasisir, pada usia 48 tahun. Konon ketika terjadi huru hara, Hasanudin dibantu oleh beberapa pasukannya dari Banten Girang. Kelak dikemudian hari Banten Girang menggabungkan diri dengan wilayah Banten Pesisir, sehingga praktis Hasanudin menjadi penguasa Banten Pasisir dan Banten Girang. Hampir semua penduduk Banten beralih agama menganut Islam. Ia bernama nobat Panembahan Hasanudin.

Untuk memperkuat posisi pemerintahannya, Hasanudin membangun wilayah tersebut sebagai pusat pemerintahan dan administratif. Ia pun mendirikan istana yang megah yang didberi nama Keraton Surasowan, mengambil nama kakeknya (Surasowan) yang sangat menyayanginya. Nama Keraton tersebut akhirnya berkembang menjadi nama kerajaan. Berita ini diabadikan didalam prasasti tembaga berhuruf Arab yang dibuat oleh Sultan Abdul Nazar (1671-1687), nama resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.

Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanuddin memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan Cirebon. Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan posisinya sebagai penguasa Banten.

Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin dari istrinya yang kedua, yakni Ratu Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak) yang juga sering disebut Ratu Mas Purnamasidi, Panembahan Hasanudin memperoleh putera, diantaranya Ratu Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta), dan Pangeran Arya, yang diangkat anak oleh bibinya, Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai Pangeran Jepara.

Kini Banten telah di akui di berbagai wilayah bahkan sampai ke daerah eropa maupun asia, banten juga sempat di sebut sebagai Amsterdam karna banten adalah pusat perdangan terbesar, banten juga terkenal akan kebudayaannya yang mencolok classic sangat mengundang para tamu untuk melihatnya.

Teruslah mengetahui sejarah Perkembangan Banten, karna melewati Sejarah, anak cucu kita pasti akan Bangga dengan kerja Keras para Pahlawan di Banten.


Share:

Sejarah Syeh Muhammad Soleh

Sejarah Syekh Muhammad Soleh Gunung Santri

Melongok Sejarah "Syekh Muhammad Sholeh" Yang Dimakamkan di Gunung Santri. Gunung santri merupakan salah satu bukit dan nama kampung yang ada di Desa Bojonegara Kecamatan Bojonegara Kabupaten Serang, Banten. 

Daerah ini berada di sebelah barat laut daerah pantai utara 7 Kilometer dari Kota Cilegon. Letak gunung santri berada ditengah dikelilingi gugusan gunung-gunung yang memanjang dimulai dari pantai dan berakhir pada gunung induk yaitu gunung gede. Di puncak gunung santri terdapat makam seorang waliyullah yaitu Syekh Muhammad Sholeh. jarak tempuh dari kaki bukit menuju puncak bejarak 500 M dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. 

Kampung di sekitar gunung santri antara lain Kejangkungan, Lumajang, Ciranggon, Beji, Gunung Santri dan Pangsoran. Di kaki bukit sebelah utara di kampung Beji terdapat masjid kuno yang seumur dengan masjid Banten lama yaitu Masjid Beji yang merupakan masjid bersejarah yang masih kokoh tegak berdiri sesuai dengan bentuk aslinya sejak zaman Kesultanan Banten yang kala itu Sultan Hasanudin memimpin Banten. 

Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel, setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanudin) pada masa itu penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh diperintahkan oleh Sultan Syarif Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah lama tidak ke Cirebon dan sambil berdakwah yang kala itu Banten masih beragama hindu dan masih dibawah kekuasaan kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahanya berada di Banten Girang.  

Sesuai ketelatenanya akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di Gunung Lempuyang dekat kampung Merapit Desa Ukir Sari Kec. Bojonegara yang terletak di sebelah barat pusat kecamatan yang sedang Bermunajat kepada Allah SWT. Setelah memaparkan maksud dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak untuk kembali ke Cirebon. 

Karena kedekatannya dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah, akhirnya Sultan Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi pengawal sekaligus penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan pertanian dengan mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah si derup yang berada di blok Beji. 

Syiar agama Islam yang dilakukan Sultan Hasanudin mendapat tantangan dari Prabu Pucuk Umun, karena berhasil menyebarkan agama Islam di Banten sampai bagian Selatan Gunung Pulosari (Gunung Karang) dan Pulau Panaitan Ujung Kulon. Keberhasilan ini mengusik Prabu Pucuk Umun karena semakin kehilangan pengaruh, dan menantang Sultan Hasanudin untuk bertarung dengan cara mengadu ayam jago dan sebagai taruhannya akan dipotong lehernya, tantangan Prabu Pucuk umun diterima oleh sultan Hasanudin. Setelah Sultan Hasanudin bermusyawarah dengan pengawalnya Syekh Muhamad Soleh, akhirnya disepakati yang akan bertarung melawan Prabu Pucuk Umun adalah Syekh Muhamad Sholeh yang bisa menyerupai bentuk ayam jago seperti halnya ayam jago biasa. Hal ini terjadi karena kekuasaan Allah SWT. 

Pertarungan dua ayam jago tersebut berlangsung seru namun akhirnya ayam jago milik Sultan Maulana Hasanudin yang memenangkan pertarungan dan membawa ayam jago tersebut kerumahnya. Ayam jago tersebut berubah menjadi sosok Syekh Muhammad Sholeh sekembalinya di rumah Sultan Maulana Hasanudin. 

Akibat kekalahan adu ayam jago tersebut Prabu Pucuk Umun pun tidak terima dan mengajak berperang Sultan Maulana Hasanudin. Mungkin sedang naas pasukan Prabu Pucuk Umun pun kalah dalam perperangan dan mundur ke selatan bersembunyi di pedalaman rangkas yang sekarang dikenal dengan suku Baduy. 

Setelah selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh pun kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya sebagai mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini didasari dengan rasa keikhlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada santrinya, semua itu patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus untuk menegakkan amal ma’rup nahi mungkar. 

Beliau Wafat pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat untuk dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makam beliau terdapat pengawal sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M.  

Jalan menuju makam Waliyullah tersebut mencapai kemiringan 70-75 Derajat sehingga membutuhkan stamina yang prima untuk mencapai tujuan jika akan berziarah. Namun itulah perjuangan para peziarah dalam bertawasul kepadanya. Namun, ketika kita sampai di makam Beliau, akan terdapat kepuasan hati. Jarak tempuh dari tol cilegon Timur 6 KM kearah Utara Bojonegara, jika dari Kota Cilegon melalui jalan Eks Matahari lama sekarang menjadi gedung Cilegon Trade Center 7 KM kearah utara Bojonegara disarikan dari buku “Gunung Santri Objek Wisata Religius”.
Share:

Minggu, 24 September 2017

Ziarah Ke Makam Syekh Asnawi Caringin

Pengalaman Ziarah Ke Makam Syekh Asnawi Caringin

Untuk kalangan para pecinta ziarah, sudah tak asing lagi dengan yang namanya Syekh Asnawi. Syekh Asnawi lahir di Kampung caringin sekitar tahun 1850 M, ayah beliau bernama Abdurrahman dan ibunya bernama  Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan ke 17 dari Sultan Ageng Mataram atau Raden Fattah . Sejak umur 9 tahun Ayahnya telah mengirim Syekh Asnawi ke Mekkah untuk memperdalam Agama Islam. Di mekkah beliau belajar dengan Ulama kelahiran Banten yang telah termasyhur namanya bernama Syekh Nawawi Al Bantani. Kecerdasan yang di miliki beliau dengan mudah mampu menyerap berbagai dsiplin ilmu yang telah di berikan gurunya. Setelah dirasa cukup lama menimba ilmu dari gurunya maka Syekh Nawawi Tanara Banten menyuruh muridnya Syekh Asnawi untuk pulang ketanah air untuk mensyiarkan agama Allah.

Sekembalinya dari Mekkah Syekh Asnawi mulai melakukan dakwah ke berbagai daerah , karena ketinggian ilmu yang dimiliki, nama Syekh Asnawi mulai ramai dikenal orang dan menjadi sosok ulama yang menjadi panutan masyarakat Banten. Situasi Tanah air yang masih di kuasai Penjajah Belanda dan rusak nya moral masyarakat pada waktu itu membuat Syekh Asnawi sering mendapat Ancaman dari pihak-pihak yang merasa kebebasannya terusik.  Banten yang terkenal dengan Jawara jawaranya yang memiliki ilmu Kanuragan  dan dahulu terkenal sangat sadis dapat di taklukkan berkat kegigihan dan perjuangan Syekh Asnawi . Beliau juga terkenal sebagai Ulama dan Jawara yang sakti yang sangat di segani  oleh kaum Penjajah Belanda. Syekh Asnawi dalam melakukan dakwahnya juga mengobarkan semangat Nasionalisme anti Penjajah kepada masyarakat hingga akhirnya Syekh Asnawi di tahan di Tanah Abang di asingkan  ke Cianjur  oleh Belanda selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda. Apa yang dilakukan Syekh Asnawi   mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan para ulama  lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid.

Selama di pengasingan Syekh Asnawi tetap melakukan Dakwah mengajarkan Alquran dan Tarekat kepada masyarakat  sekitar dan  setelah dirasa Aman Syekh Asnawi kembali ke kampungnya di Caringin untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan Islam dengan mendirikan Madrasah Masyarikul Anwar dan Masjid Salapiah Caringin sekitar tahun 1884. Mesjid Caringin ditandai oleh denah empat persegi panjang, pada keempat sisinya terdapat serambi. Arsitektur Masjid dipengaruhi oleh unsur arsitektur lokal, terlihat dari bentuk atapnya dan ditopang oleh arsitektur asing terlihat pada bentuk jendela serta pintu dalam dengan ukuran relatif besar juga pilar-pilar yang mengelilingi Masjid. Menurut cerita bahwa Kayu masjid tersebut berasal dari sebuah pohon Kalimantan  yang di bawa oleh Syekh Asnawi ke Caringin. Dahulu pohon tersebut tidak bisa di tebang kalaupun bisa di tebang beberapa saat pohon tersebut muncul kembali hingga akhirnya Syekh Asnawi berdo’a memohon kepada Allah agar diberi kekuatan dan pohon tersebut dapat di tebang serta kayunya dibawa Syekh Asnawi ke Caringin untuk membangun Masjid.

Tahun 1937 Syekh Asnawi berpulang kerahmtullah dan meninggalkan 23 anak dari lima Istri ( Hj.Ageng Tuti halimah, HJ sarban, Hj Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah ) dan di makamkan di Masjid Salfiah Caringin , hingga kini Masjid Salafiah  Caringin dan makam beliau tak pernah sepi dari para peziarah baik dari sekitar Banten maupun dari berbagai daerah di tanah air banyak pengalaman menarik dari peziarah yang melakukan ziarah ke makam beliau.

Jika kita memasuki ruang makam Syekh Asnawi, kita akan melihat pemandangan sebuah kumpulan uang hasil infak yang dikumpulkan di samping makam Syekh Asnawi. Di makam Syekh Asnawi saya sempat berdoa kepada Allah, agar Allah SWT dengan kekuatanNya mengubah dan menjadikan para pengelola makam Syekh Asnawi menjadi lebih mulia dan lebih bermartabat. Karena menurut saya, saat ini sikap para pengelola sangatlah bertolak belakang dengan ajaran sifat-sifat seorang ulama besar seperti Syekh Asnawi. Sungguh sangatlah malu diri saya pribadi melihat pemandangan yang seperti ini. Para peziarah datang ke makam Syekh Asnawi adalah untuk bertawasul dan mendoakan beliau. Dan tentunya kekhusuan dalam berdoa sangatlah mutlak demi tercapainya komunikasi kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada Syekh Asnawi dan keluarga serta keturunan-keturunannya. Semoga, para pemerintah lebih memperhatikan cagar budaya yang memang harus terus dilestarikan demi kelestarian bangsa. Karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang selalu ingat akan sejarah. Dan bukan mengkomersialkan sejarah. Semoga kelak makam Syekh Asnawi terlihat semakin mulia..aamiin..
Share:

Popular Posts

Doc Video

Info Keuangan Majelis

No Keterangan Kas Jumlah
01 Tot.Pend.Kas Sblmnya Rp3.782.000
02 Pend.Kas Jumat Lalu Rp116.000
03 Tot.Pend.Kas Rp3.898.000
04 Piutang Majelis Rp600.000
05 Peralatan Majelis Rp40.000
06 Kas Majelis Rp3.258.000
07 Biaya Sumbangan Rp400.000
08 Biaya Majelis Rp1.228.500
09 Saldo Kas Majelis Rp1.629.500

Info Pos Kas Majelis (Peny. 2018)

No Jenis Pos Kas Persen Jumlah
01 Kas Subuh 32,5% Rp627.088
02 Kas Zuhur 20% Rp385.900
03 Kas Ashar 27,5% Rp530.613
04 Kas Maghrib 15% Rp289.425
05 Kas Isya 5% Rp96.475

Jadwal Solat


jadwal-sholat

Arsip Blog